YAYASAN PONDOK PESANTREN HUDALLIL ALAMIN
Education and Religion Institute Jl. Sawo No.06 Rt.08/Rw.02 Sukodono Sidoarjo Jawa Timur Telepon Seluler 0813-3557-1778 / Telepon Lain Kantor(031) 8832530 Kantor(031) 28843881 Alamat : Sawo Rt.08 Rw.02 No.06 Sukodono Sidoarjo, Indonesia 61258 Email : yayasanhudallilalamin@gmail.com/ hudallilalaminsawo@gmail.com/ yayasan.hudallilalamin.5@facebook.com Twitter : @HudallilAlamin
Rabu, 12 Mei 2021
PONDOK PESANTREN HUDALLIL ALAMIN SAWO DUNGUS MASUK MEDIA NU ONLINE
https://jatim.nu.or.id/read/rijalul-ansor-sukodono-bedah-hakikat-ramadlan
Sidoarjo, NU Online Jatim
Pimpinan Anak Cabang (PAC) Majelis Dzikir dan Shalawat Rijalul Ansor (MDS RA) Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, menggelar acara rutinan di bulan Ramadlan 1442 Hijriyah. Digelar di Masjid Badrul Hasan Desa Jumputrejo, Ahad (02/05/2021) lalu, hadir sebagai pengisi kuliah tujuh menit yaitu Ketua MDS RA Sukodono M Hamdan Habibi alias Gus Habibi.
Acara sore itu diawali dengan pembacaan shalawat, Ratibul Haddad, kultum dan doa, kemudian dilanjutkan dengan buka bersama. Dihadiri oleh beberapa pengurus MDS RA, Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sukodono, dan Ranting (PR) GP Ansor Jumputrejo, beberapa utusan Pimpinan Ranting (PR) lainnya, serta pengurus takmir masjid setempat.
Dalam kultum, Gus Habibi menjelaskan tentang hakikat Ramadlan. Ia membuka tausiyahya dengan sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: Seandainya para hamba mengetahui apa hakikat pada bulan Ramadlan maka tentu umatku menginginkan Ramadlan itu sepanjang tahun.
“Berangkat dari hadits di atas, berarti jelas adanya bahwa bulan Ramadlan itu bulan yang mulia, bulan yang sangat banyak kebaikan dan pahalanya,” kata Gus Habibi.
Diterangkan alumni Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ) Tebuireng, Jombang, itu, bulan suci Ramadlan adalah Syahrul Qur'an (bulan Al-Qur'an) dan di dalamnya juga terdapat Lailatul Qadar yang kebaikannya melebihi 1000 bulan.
Lebih lanjut Pengasuh Pesantren Hudallil Alamin Dungus itu menegaskan, inti dilaksanakannya ibadah puasa di bulan Ramadlan tidak lain adalah agar Muslim menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT. Jika tidak semakin bertaqwa kepada Allah atau bahkan semakin lebih buruk dari tahun sebelumnya, berarti ada yang salah dari puasa yang dijalankan.
“Jadi, predikat bertaqwa kepada Allah adalah inti dari pada amalan ibadah puasa Ramadlan kita, predikat ini lebih baik daripada penyematan titel atau jabatan apapun di dunia. Semoga dalam mengarungi bulan suci Ramadlan ini kita diberi rahmat oleh Allah dan menjadi akhiran insan yang bertaqwa kepada Allah,” ujar Gus Habibi.
Editor : Nur Faishal
Minggu, 08 Juni 2014
Selasa, 29 April 2014
KEUTAMAAN IMAN DAN ISTIQAMAH
![]() |
| Add caption |
عَنْ أَبِيْ عَمْرٍو، وَقِيْلَ أَبِيْ عَمْرَةَ، سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ، قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ (رواه مسلم)
Sanad Hadits :Hadits di atas memiliki sanad yang lengkap (sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Jami’ Aushaf Al-Islam, hadits no : 38) :
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ أَبِيْ شَيْبَةَ وَأَبُوْ كُرَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ ح وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ جَمِيْعًا عَنْ جَرِيْرٍ ح وَحَدَّثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُوْ أُسَامَةَ كُلُّهُمْ عَنْ هِشَامٍ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ سُفْيَانِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ، قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ (رواه مسلم)
Gambaran Umum Tentang HaditsDilihat dari isi kandungannya, hadits ini menggabungkan dua pokok permasalahan besar dalam Islam, yaitu Iman dan Istiqomah. Iman merupakan implementasi dari tauhid yang merupakan inti ajaran islam, sedangkan istiqomah merupakan implementasi dari pengamalan aspek-aspek tauhid dalam kehidupan nyata. Dan kedua hal tersebut terangkum dalam hadits singkat ini, melalui pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah SAW.
Makna Hadits
Hadits di atas menggambarkan tentang dua makna besar dalam Islam, yaitu Iman dan Istiqomah. Dua hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam keislaman seseorang. Karena Iman (sebagaimana digambarkan di atas) merupakan pondasi keislaman seseorang dimana pun dan kapan pun. Tanpa Iman, maka segala amal seseorang tiada akan pernah memiliki arti di hadapan Allah SWT. Namun hanya iman saja tidak cukup :
الإيمان وحده لا يكفي
إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُوْا عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِىْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ*
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”
Iman harus dibekali dengan keistiqomahan dalam implementasi konsekwensinya, hingga akhir masa kehidupan untuk menghadap Allah SWT. Sehingga peranan keistiqomahan dalam perjalanan iman (baca; dakwah), sangatlah penting. Hingga demikian pentingnya, tidak sedikit para salafuna shaleh yang mencoba memberikan gambaran mengenai istiqomah ini :
Jika ditinjau dari segi asal katanya, istiqomah ( الإستقامة ) merupakan bentuk mashdar (baca; infinitif) dari kata istaqama ( استقام ) yang berarti tegak dan lurus :
الإستقامة : مصدر من استقام – يستقيم – استقاما، بمعنى اعتدل وانتصب
Istiqomah merupakan mashdar dari fi’il istaqama – yastaqimu – istiqaman, yang berarti tegak dan lurus.
Sedangkan dari segi istilahnya dan hakekatnya, digambarkan sebagai berikut :
Suatu ketika beliau pernah ditanya:
سئل صديق الأمة وأعظمها اسقامة – أبو بكر الصديق رضي الله تعالى عنه – عن الإستقامة ؟
فقال "أن لا تشرك بالله شيئا
Suatu ketika orang yang paling besar keistiqamahannya ditanya oleh seseorang tentang istiqamah. Abu Bakar menjawab, ‘istiqamah adalah bahwa engkau tidak menyekutukan Allah terhadap sesuatu apapun. (Al-Jauziyah, tt: 331).
Ibnu Qayim mengomentari, bahwa Abu Bakar menggambarkan istiqamah dalam gambaran tauhidullah (mengesakan Allah SWT). Karena seseorang yang dapat istiqamah dalam pijakan tauhid, insya Allah ia akan dapat istiqamah dalam segala hal di atas jalan yang lurus. Iapun akan beristiqamah dalam segala aktivitas dan segala kondisi. (Al-Jauziyah, tt : 331)
2. Umar bin Khatab
Umar bin Khatab pernah mengatakan:
الإستقامة : أن تستقيم على الأمر والنهي، ولا تروغ روغان الثعلب
Istiqamah adalah, bahwa engkau senantiasa lurus (baca; konsisten) dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, serta tidak menyimpang seperti menyimpangnya rubah. (Al-Jauziyah, tt : 331)
3. Usman bin Affan
Beliau mengatakan mengenai istiqamah:
استقاموا : أخلصوا العمل لله
Beristiqamahlah kalian : (maknanya) ikhlaskanlah amal kalian hanya kepada Allah SWT.
4. Ali bin Abi Thalib & Ibnu AbbasMereka berdua mengatakan mengenai istiqamah:
استقاموا : أدوا الفرائض
Istiqamahlah kalian (perintah untuk beristiqamah), berarti : laksanakanlah kewajiban (perintah untuk melaksanakan segala kewajiban) (Al-Jauzi, tt : 331)
5. Al-Hasan (Hasan al-Bashri)Beliau mengemukakan:
استقاموا على أمر الله، فعملوا بطاعته، واجتنبوا معصيته
Isttiqamahlah kalian melaksanakan perintah Allah, dengan beramal untuk mentaati-Nya dan menjauhi berbuat kemaksiatan pada-Nya. (Al-Jauzi, tt : 331)
6. Imam Mujahid
Beliau mengtakan:
استقاموا على شهادة أن لا إله إلا الله حتى لحقوا بالله
Istiqamahlah kalian dalam syahadat La ilaha illallah sampai kalian bertemu dengan Allah SWT. (Al-Jauzi, tt : 331)
7. Ibnu TaimiyahBeliau mengatakan:
استقاموا على محبته وعبوديته، فلم يلتفتوا عنه يمنة ولا يسرة
Isttiqmahlah kalian dalam mahabah (kepada Allah) dan dalam berubudiyah kepada-Nya. Dan jangalah menoleh dari-Nya (berpaling walau sesaat) baik ke kanan ataupun ke kiri. (Al-Jauzi, tt : 332)
8. Ibnu Rajab Al-HambaliBeliau mengemukakan bahwa istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus, tanpa belok ke kiri dan ke kanan, tercakup di dalamnya ketaatan yang tampak maupun yang tidak tampak, serta meninggalkan larangan.
Antara Istiqomah Dan IstighfarDalam salah satu ayat di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menggandeng antara istiqomah dengan istighfar kepada Allah SWT, yaitu dalam QS. Fushilat/ 41 : 6 :
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya).”
Ayat di atas menggambarkan, bahwa betapapun sempurnanya seorang insan, namun ia pasti pernah melakukan satu kelalaian atau kesalahan. Dan kendatipun seseroang berusaha untuk selalu istiqomah, tentu suatu ketika, jiwanya akan juga terjatuh pada satu kesalahan dan kekeliruan. Oleh karenanya, seorang muslim yang baik adalah yang senantiasa introspeksi diri terhadap segala kekurangan dan kesalahan-kesalahannya, untuk kemudian berusaha untuk memperbaikinya dengan terlebih dahulu beristighfar dan bertaubat memohon ampunan kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ (رواه الترمذي)
Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Semua anak cucu adam berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, adalah mereka-mereka yang bertaubat." (HR.Tirmidzi)
Para ulama mengemukakan bahwa proses perbaikan diri dari kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat, adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari istiqomah itu sendiri. (Al-Bugha, 1993 : 175).
Keutamaan Istiqomah
Istiqomah memiliki beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh sifat-sifat lain dalam Islam. Diantara keutamaan istiqomah adalah :
Dalam sebuah ayat-Nya, Allah SWT berfirman :
إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُوْا عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِىْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ*
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
2. Berdasarkan ayat di atas, istiqomah merupakan satu bentuk sifat atau perbuatan yang dapat mendatangkan ta’yiid (baca ; pertolongan dan dukungan) dari para malaikat.
3. Istiqomah merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT
Dalam sebuah hadits digambarkan :
عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ (رواه البخاري)
Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Berbuat sesuatu yang tepat dan benarlah kalian (maksudnya ; istiqamahlah dalam amal dan berkatalah yang benar/ jujur) dan mendekatlah kalian (mendekati amalan istiqamah dalam amal dan jujur dalam berkata). Dan ketahuilah, bahwa siapapun diantara kalian tidak akan bisa masuk surga dengan amalnya. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang langgeng (terus menerus) meskipun sedikit. (HR. Bukhari)
4. Berdasarkan hadits di atas, kita juga diperintahkan untuk senantiasa beristiqomah. Ini artinya bahwa Istiqomah merupakan pengamalan dari sunnah Rasulullah SAW.
5. Istiqomah merupakan ciri mendasar orang mu’min.
Dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلاَةَ وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ (رواه ابن ماجه)
Dari Tsauban ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘istiqamahlah kalian, dan janganlah kalian menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang dapat menjaga wudhu’ (baca; istiqamah dalam whudu’, kecuali orang mu’min.) (HR. Ibnu Majah)
Cara Untuk Merealisasikan Istiqamah
Setelah kita memahami mengenai istiqamah secara singkat, tinggallah sebuah kenyataan yang ada dalam diri kita semua, yaitu bahwa kita semua barangkali masih jauh dari sifat istiqamah ini. Kita masih belum mampu merealisasikannya dalam kehidupan nyata dengan berbagai dimensinya. Oleh karena itulah, perlu kiranya kita semua mencoba untuk merealisasikan sifat ini. Berikut adalah beberapa kiat dalam mewujudkan sikap istiqamah:
1. Mengkikhlaskan niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah SWT. Ketika beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan fikiran kita selain hanya Allah dan Allah. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa ikhlas.
2. Bertahap dalam beramal. Dalam artian, ketika menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujud sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan. Seperti dalam bertilawah Al-Qur’an, dalam qiyamul lail dan lain sebagainya; hendaknya dimulai dari sedikit demi sedikit, kemudian ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.
3. Diperlukan adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersifat kontinyu dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Karena kadangkala sebagai seorang insan, kita terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.
4. Istiqamah tidak dapat direalisasikan melainkan dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah SWT. Allah berfirman (QS. 3 : 101)
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ ءَايَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
5. Istiqamah juga sangat terkait erat dengan tauhidullah. Oleh karenanya dalam beristiqamah seseorang benar-benar harus mentauhidkan Allah dari segala sesuatu apapun yang di muka bumi ini. Karena mustahil istiqamah direalisasikan, bila dibarengi dengan fenomena kemusyrikan, meskipun hanya fenomena yang sangat kecil dari kemusyrikan tersebut, seperti riya. Menghilangkan sifat riya’ dalam diri kita merupakan bentuk istiqamah dalam keikhlasan.
6. Istiqamah juga akan dapat terealisasikan, jika kita memahami hikmah atau hakekat dari ibadah ataupun amalan yang kita lakukan tersebut. Sehingga ibadah tersebut terasa nikmat kita lakukan. Demikian juga sebaliknya, jika kita merasakan ‘kehampaan’ atau ‘kegersangan’ dari amalan yang kita lakukan, tentu hal ini menjadikan kita mudah jenuh dan meninggalkan ibadah tersebut.
7. Istiqamah juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i. Karena dengan kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika kita lalai, tentu yang lain ada yang mengnigatkan. Berbeda dengan ketika kita seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal seorang diri.
8. Memperbanyak membaca dan mengupas mengenai keistiqamahan para salafuna shaleh dalam meniti jalan hidupnya, kendatipun berbagai cobaan dan ujian yang sangat berat menimpa mereka. Jusrtru mereka merasakan kenikmatan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan tersebut.
9. Memperbanyak berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal tersebut tidak akan pernah terwujud.
Hikmah Tarbawiyah
Hadits di atas memiliki hikmah tarbawiyah yang patut untuk dicermati dan diajadikan pelajaran bagi aktivis dakwah masa kini. Diantara hikmahnya adalah :
1. Antusias sahabat dalam “menimba ilmu” dari Rasulullah SAW, terutama mengenai hal yang terkait dengan kebahagiaan hakiki di kemudian hari bagi mereka sendiri. Bahkan sahabat tidak segan-segan menggunakan bahasa pertanyaan yang sangat spesifik, yang seolah jawabannya tidak dimiliki oleh siapapun kecuali hanya dari Rasulullah SAW.
2. Jawaban yang diberikan Rasulullah SAW kepada sahabat yang bertanya padanya, merupakan jawaban yang singkat, padat, mudah dimengerti serta tidak menggunakan bahasa yang rumit dan sukar dipahami. Hal ini sekaligus memberikan pelajaran bagi para aktivis dakwah, bahwa hendaknya dalam memberikan arahan kepada audiens dakwah, menggunakan bahasa yang sesuai dengan kadar kemampuan mereka, serta jelas dari segi poin-poinnya.
3. Dari segi isi haditsnya, dapat ditarik satu kesimpulan yaitu bahwa sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara iman dan istiqomah. Karena konsekwensi iman adalah istiqomah. Sedangkan istiqomah merupakan keharusan dari adanya keimanan kepada Allah SWT. Oleh karenanya dalam keseharian, seorang akh cukup dengan hanya penempaan keimanan melalui sarana-sarana tarbiyah dan ia dapat “bagus” di dalamnya, namun hendaknya seorang al-akh juga harus tetap istiqomah kendatipun berada di luar majlis tarbiyahnya. Seperti ketika sedang berbisnis, ia harus “istiqomah” menjaga nilai-nilai tarbawi yang telah didapatnya dalam halaqah, ketika melakukan transaksi bisnis, baik dengan sesama ikhwah maupun dengan pihak lain. Demikian juga dalam aspek-aspek yang lainnya, seperti ketika berpolitik juga harus senantiasa istiqomah dalam implementasinya, kendatipun terdapat perbedaan yang sangat tajam antara lingkungan tarbawi dengan lingkungan siyasi.
4. Namun walau bagaimanapun juga, se-shaleh – shalehnya seorang yang shaleh, ia juga tetap merupakan seorang manusia biasa yang tentunya tidak akan luput dari noda dan dosa. Ketika berinteraksi mengamalkan nilai-nilai tarbawi di “dunia lain”, tentunya banyak lobang menganga yang siap “menelan” langkah-langkah kaki kita. Seperti salah dalam bertindak, sifat emosi dan marah, salah memberikan kebijakan dan lain sebagainya. Namun jika semua kesalahan tersebut “diakui” serta kemudian diperbaiki, maka insya Allah, hal ini merupakan bagian dari istiqamah. Namun sebaliknya, jika kesalahan tersebut semakin menyeretnya pada jurang kemurkaan Allah SWT, maka tentunya ia akan semakin terperosok dalam lembah kenistaan yang mendalam.
5. Istiqomah merupakan satu bentuk “proses pembelajaran” yang harus senantasa dilakukan oleh setiap al-akh. Karena hidup merupakan proses pembelajaran, menuju keridhaan Allah SWT. Dan salah satu ciri dari pembelajaran adalah adanya kekeliruan. Dan dengan kekeliruan inilah, kita berupaya memperbaiki diri. Tanpa kesalahan, tidak akan pernah ada keberhasilan.
6. Istiqomah merupakan bentuk “manajemen” diri yang sangat baik dan disarankan oleh berbagai ahli menejemen. Karena istiqomah adalah implementasi dari “emotional controlling” yang terdapat dalam diri seseorang. Dan paradigma yang populer sekarang ini adalah bahwa kunci keberhasilan yang paling besar adalah dengan control emosi. Seseorang yang memiliki kontrol emosi yang baik, maka prosentase keberhasilannya akan lebih besar, dibandingkan dengan orang yang memiliki kecerdasan intelektual sekalipun.
7. Istiqomah sangat diperlukan, terutama bagi “bekal” dari panjangnya perjalanan dakwah. Ibarat orang yang lari maraton 10 km, maka ia tidak boleh berlari sprint pada 100 m awal, kemudian setelah itu ia kelelahan. Namun bagaimana dengan istiqomah ini, ia dapat lari maraton sejauh apapun, dengan tetap menjaga dan cotrol terhadap kecepatan larinya serta stabil dalam mencapai finish. Wallahu A’lam Bis Shawab
![]() |
| Add caption |
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.
Senin, 28 April 2014
KYAI - KYAI KHOS
Nama lengkapnya adalah Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani, yang dikenal dengan sebutan Mbah Soleh Darat, hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten danSyekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura, lahir di Kedung Cemlung, Jepara pada tahun 1235 H./1820 M., dan wafat di Semarang pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H. atau 18 Desember 1903 M. Ketiga ulama yang berasal dari Jawa itu juga sezaman dan seperguruan di Mekah dengan beberapa ulama dari Patani diantaranya adalah Syekh Muhammad Zain bin Mustafa Al-Fathani (Lahir 1233 H./1817 M., wafat 1325 H./1908 M.). Mereka juga seperguruan di Makkah dengan Syekh Amrullah (Datuk Prof. Dr. Hamka) dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma'unah Sari.
Sesuai dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal).
Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma'nan wa 'amalan.
Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967
oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu.
Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf,
terutama peng-'Istiqomah'-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang lebih
selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.

KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri),

KH Ahmad Jazuli Utsman
DialahMas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.“Co, endang ning pondok!”“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). “Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf. Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri. Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri. Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat. Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
KH.ASNAWI CARINGIN ( ULAMA DAN PENDEKAR BANTEN )
DialahMas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.“Co, endang ning pondok!”“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). “Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf. Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri. Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri. Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat. Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
Situs resmi Ponpes Buntet, buntetpesantren.com, menyatakan, banyak orang yang menyebutnya sebagai “penyangga masyarakat. Dia juga dikenal sebagai Kiai yang mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu.
kh Ali Ma’shum
Kiai Ali lahir pada 15 Maret 1915 di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia putra Kiai Ma`shum, pemimpin Pesantren Al-Hidayah, Soditan, Lasem Rembang, Jawa Tengah.

KH.MUHAMMAD NAWAWI AL BANTANI (TANARA BANTEN)
bagi masyarakat Solo dan sekitarnya cukup dikenal dengan sapaan mBah Siroj. Beliau selalu berpakaian khas dengan memakai iket(blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi walau sedang bepergian jauh.
Putra Seorang Waliyullah

KH MUHAMMAD DIMYATI (CIDAHU BANTEN)

SYECH AHMAD KHATIB SAMBAS (KALIMANTAN)
KH MUHAMMAD YAHYA MALANG
KH Abdul Hamid Pasuruan wali santun

Minggu, 09 Maret 2014
KEUTAMAAN KALIMAT LA ILAHA ILLALLAH
Kalimat syahadat yaitu (laa ilaha illallah) sudah kita ketahui bersama. Namun, kebanyakan kita lupa atau belum mengetahui bahwa kalimat yang satu ini memiliki keistimewaan yang luar biasa. Itulah yang patut kita ketahui saat ini. Ingatlah bahwa kalimat ini bukanlah kalimat biasa-biasa saja. Marilah kita simak pembahasan berikut, semoga bermanfaat.
Lalu beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antaranya: Pertama, Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surgaSuatu saat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar muadzin mengucapkan ’Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi, « خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ » ”Engkau terbebas dari neraka.” (HR. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ ”Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Kedua, Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utama Abu Dzar berkata,قُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَلِّمْنِي بِعَمَلٍ يُقَرِّبُنِي مِنَ الجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ إِذاَ عَمَلْتَ سَيِّئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً فَإِنَّهَا عَشْرَ أَمْثَالِهَا، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ ، قَالَ هِيَ أَحْسَنُ الحَسَنَاتِ وَهِيَ تَمْحُوْ الذُّنُوْبَ وَالْخَطَايَا ”Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, apakah ’laa ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)
Ketiga, Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah dzikir yang paling utama Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam (hadits marfu’),أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ”Dzikir yang paling utama adalah bacaan ’laa ilaha illallah’.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 62)
Keempat, Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah amal yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairoh radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda,« مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِىَ ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ ، إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ » . ”Barangsiapa mengucapkan ’laa il aha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ’ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.” (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)
Kelima, Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu mana saja yang dia sukai Dari ’Ubadah bin Shomit radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ ”Barangsiapa mengucapkan ’saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan (bersaksi) bahwa ’Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)






















.jpg)